Email Yang Semakin Tua & Aplikasi Messaging Yang Beranjak Dewasa

Realita yang berkembang akhir-akhir ini mengenai millennials, terutama dalam hal penggunaan email adalah mulai bergesernya kebutuhan dalam media penyampaian pesan dengan munculnya aplikasi messaging selama beberapa tahun terakhir. Whatsapp, Line, WeChat, dan aplikasi messaging lainya mengalihkan penggunaan email yang awalnya menjadi media penyampaian pesan menjadi sebuah media ‘formal’ dalam menyampaikan pesan yang benar-benar penting.

Seperti yang dunia tahu, bahwa millennials suka dengan sesuatu yang bersifat informal sehingga email tidak lagi digunakan oleh para Millennials untuk berkomunikasi dengan rekan sejawatnya. Bukan berarti email menjadi sesuatu yang obsolete, tapi dengan adanya perbedaan demographis dalam penggunaannya dan perkembangan aplikasi- aplikasi instant messaging yang mampu melebihi social media menyebabkan paradigma bahwa email hanya digunakan oleh para generasi ‘tua’ menjadi lebih kentara di kalangan millennials. Sebenarnya kehebatan dan progress yang cepat dari aplikasi messaging bukan menjadi sesuatu yang baru dalam dunia bisnis. BlackBerry Messenger (BBM) menjadi andalan BlackBerry dalam mengungguli Nokia, yang menyadarkan dunia pada kebutuhan “instant connection”.

Pada tahun 2006-2010, facebook mulai menjadi sebuah kebutuhan di kalangan millennials tanah air dan menjadi social media yang ‘hampir pasti’ dimiliki oleh setiap orang di Indonesia. Pada tahun 2010-2015, twitter muncul sebagai social media alternatif
yang mulai di explore dan utilize oleh Millennials sehingga saat ini menjadi social media yang paling sering digunakan oleh para mahasiswa di tanah air. Migrasi millennials ke platform lain yang lebih mampu memberikan “instant connection” merupakan sebuah dinamika yang harus disambut baik oleh para pelaku bisnis. Snapchat & Facebook Messenger merupakan salah satu contoh perusahaan yang menyambut dan memanfaatkan opportunitas tersebut.

Sebenarnya ada 3 hal yang menyebabkan para millennials bermigrasi ke platform lain (yang lebih baru dan sophisticated):

1. Banyaknya pengguna dari berbagai usia yang sudah mulai menjamah facebook

2. Informasi yang diposting di social media bersifat permanen

3. Social media sudah mulai digunakan sebagai background oleh perusahaan untuk menilai reputasi karyawannya.

Millennials hanya menonton atau melihat hal-hal yang ingin mereka lihat, bukan iklan, campaign politik atau isu-isu sosial yang mungkin tidak terlalu berkaitan dengan mereka. Itulah mengapa group-group yang berada di social media tidak lagi ‘meriah’ seperti dulu, karena millennials telah bermigrasi ke aplikasi messaging dimana mereka bisa membuat group-group eksklusif yang hanya berisikan kenalan terdekat atau rekan sejawat. Lantas bagaimana cara perusahaan memanfaatkan situasi dan realita yang berkembang di kalangan Millennials?

Knowledge Sharing adalah jawaban dan solusi yang bisa diterapkan untuk situasi tersebut, karena apabila perusahaan bisa mengembangkan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang millennials untuk berbagi pengetahuan, maka potensi millennials akan mulai muncul dan berkembang. Budaya knowledge sharing merupakan budaya idaman yang ingin diimplementasikan oleh semua perusahaan, terma suk perusahaan yang mempersiapkan diri untuk menyambut para millennials sebagai bibit-bibit baru yang menyokong pertumbuhan perusahaan. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan sistem yang mampu menjawab kebutuhan “instant connection” sebagai salah satu tools dalam penguatan dan pengembangan budaya Knowledge Sharing. Dengan mengelola pengetahuan yang dimiliki millennials, perusahaan tidak hanya diun-
tungkan dengan penambahan pengetahuan terupdate dari sudut pandang millennials, tapi juga peremajaan perusahaan yang akan mendorong penciptaan inovasi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *